Rabu, 21 Januari 2009

ISLAMICS ETHIKS

Tinjauan etika Islam terhadap manajemen laba dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga pembahasan, yaitu tinjauan etika Islam terhadap spirit yang mendasari aktivitas manajemen laba, tinjauan etika Islam terhadap proses pelaksanaan manajemen laba, dan tinjauan etika Islam terhadap dampak dan implikasi atas pelaksanaan manajemen laba. Dasar yang digunakan dalam analisis ini adalah prinsip-prinsip etika Islam yang terdapat dalam konsep bisnis Islam dan konsep akuntansi Islam yang bersumber kepada sumber-sumber hukum Islam.

Islam Etis atau Ideologis ?
Secara historis, Islam dapat didefinisikan sebagai teologi revolusioner yang berguna untuk memperbaiki moralitas manusia yang bobrok (Kurdi, 2000:4). Moralitas bobrok dalam hal ini adalah kebejatan akhlak, materialisme, tirani politik, eklesiastikal (kependetaan), dan despotisme bangsa Arab, Romawi, dan Persia pada masa itu. Sehingga, kehadiran Islam pada masa awal adalah dalam rangka membebaskan manusia dari kelaliman raja-raja imperium Romawi dan Persia yang berdaulat secara absolut dan sewenang-wenang. Kehadiran Islam ini membawa spirit keadilan dan persamaan bagi semua orang (Kurdi, 2000:1). Sehingga, ciri Islam sejati atau yang sesungguhnya adalah pemembelaannya terhadap keadilan dan kebebasan.
Perjuangan etis-universal Islam ini pun tercermin jelas dari perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad, yang tidak lain adalah untuk memperbaiki moralitas umat manusia. Cerita para Nabi tersebut, senantiasa diwarnai kisah pembangkangan dan keangkuhan kaum elit atau bangsawan yang menolak risalah Tuhan. Penolakan tersebut bukan berarti mereka tidak percaya kepada Tuhan. Melainkan, karena konsekuensi dari menerima aturan Tuhan itu adalah berarti pengakuan besar-besaran terhadap persamaan, keadilan, dan kemerdekaan sesama makhluk Tuhan. Keserakahan dan kesombongan manusia tentu tak mengijinkan hal ini terjadi.
Tak ayal, kebangkitan para Nabi untuk melawan struktur sosial dan tirani kekuasaan yang menindas, menjadi teladan yang menginspirasi perjuangan umat Islam selanjutnya. Termasuk, menjadi landasan argumen bagi para penganut teologi pembebasan yang kita kenal belakangan. Dalam teologi pembebasan, agama bukanlah candu yang melenakan manusia dari melawan penindasan. Tetapi sebaliknya, agama adalah instrumen penting bagi perlawanan terhadap setiap bentuk ketidakadilan. Jadi, spirit kebebasan dan keadilan terhadap manusia ini sudah ada sebelum dan disempurnakan dengan kehadiran Muhammad sebagai penutup para Nabi. Sepeninggal Nabi Muhammad, Tuhan tidak menurunkan Nabi lagi, melainkan memberikan manusia pegangan berupa Al Quran dan As Sunnah yang dapat disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Islam.
Umat muslim, dimanapun dan kapanpun, akan senantiasa membutuhkan Al Quran dan As Sunnah ini untuk menjalankan hukum-hukum (syariah), baik untuk berhubungan dengan Tuhan, maupun berhubungan dengan manusia dan alam. Kebutuhan menjalankan hukum inilah – kalau boleh disederhanakan – yang kemudian melahirkan dua kutub polarisasi umat Islam di dunia. Kelompok pertama, adalah mereka yang menginginkan pelaksanaan syariat ini secara formal (ideologis). Bila perlu Negara, dengan kekuatan memaksanya, turut campur tangan secara penuh dalam urusan ini. Sebaliknya, kelompok kedua adalah mereka yang menghargai pluralitas, sehingga berkeyakinan bahwa syariat harus dijalankan secara suka rela tanpa paksaan dan tekanan (sekulerisasi). Tidak ada institusi, bahkan negara sekalipun, yang boleh memaksakan aturan-aturan hukum ini kepada individu pemeluk agama.
Kedua kutub inilah, yang kemudian mewarnai dinamika politik umat Islam hingga saat ini. Di satu pihak, Islam diletakkan sebagai nilai-nilai etis dan pegangan hidup umat manusia secara universal. Sementara, di pihak yang lain, Islam adalah ideologi yang diperjuangkan mati-matian untuk penegakkan hukum dan aturan Tuhan di muka bumi. Tentu saja melalui wakil-wakil-Nya yang harus tunduk kepada Al Quran dan As Sunnah. Keduanya memiliki argumen yang bernas dan kuat. Namun, jika dilihat lebih jernih, persinggungan peradaban seharusnya tidak melulu meninggalkan luka dan kemarahan. Seharusnya kita lebih banyak belajar dari sejarah. Dunia bukan hanya hitam dan putih semata. Akhirnya, semua akan kembali lagi pada pilihan sikap kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang multireligi dan multikultural ini.
Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan ‘kematian Tuhan’ sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.
Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun realita". Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk (QS 91:7-8). Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be ?"(Apa yang seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do ?" (Apa yang harus dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif". Di dalam hidupnya manusia dinilai!!! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai!!! Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik-buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS 91:7-8). Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan". Imam Al Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya :

"Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari ilmu ma'rifat".

Tidak ada komentar: